Buat cerpen yang memuat perluasan dan hubungan makna!
contoh.....
Lies, jangan menangis begitu...lihat air matamu mengalir bagaikan sungai.
percuma sedu sedanmu itu...
toch..Pale mu itu sudan pergi naik mobil sedan
Ibu memang selalu berkata seperti itu ketika aku nangis karena tak diajak paman pergi jalan-jalan ke kota...
Setiap sore...paman selalu berkeliling ke kota mencari angin katanya..dan biasanya aku selalu diajaknya.
Aku mulai bosan. Kucoba mengambil buku pelajaran bahasa Indonesia,kubolak-balik
halaman buku..
Tapi karena hatiku kesal, aku tak tahu apa yang harus kulakukan
Lalu aku pergi ke halaman depan rumah aku duduk di teras.
Ach..rumah ini tak seperti dulu, atapnya mulai hacur, genting berantakan, dan dinding temboknya pun sudah banyak yang terkelupas..tak seperti ketika ayahnya menjadi pejabat teras.
lanjutkannya....ok!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
11 komentar:
Mencintai...
Bukanlah bagaimana kamu melupakan..melainkan bagaimana kamu Memaafkan..
Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan..melainkan bagaimana kamu Mengerti.
Bukanlah apa yang kamu lihat..melainkan apa yang kamu Rasakan..
Bukanlah bagaimana kamu melepaskan..melainkan bagaimana kamu Bertahan.
Lebih berbahaya mencucurkan air mata dalam hati...dibandingkan menangis
Tersedu-sedu..
Air mata yang keluar dapat dihapus..sementara air mata yang tersembunyi
menggoreskan luka yang tidak akan pernah hilang..
Dalam urusan cinta, kita sangat jarang menang..
Tapi ketika Cinta itu Tulus,
meskipun kalah, kamu tetap menang hanya karena kamu berbahagia...
dapat mencintai seseorang lebih dari kamu mencintai dirimu sendiri..
Akan tiba saatnya dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang
bukan karena orang itu berhenti mencintai kita
Melainkan karena kita menyadari
bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.
Apabila kamu benar-benar mencintai seseorang, jangan lepaskan dia..
Jangan percaya bahwa melepaskan selalu berarti kamu benar-benar mencintai
Melainkan berjuanglah demi cintamu. Itulah CINTA SEJATI.
Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan
Daripada berjalan bersama orang 'yang tersedia'
Kadang kala, orang yang kamu cintai adalah orang yang paling menyakiti hatimu
& kadang kala, teman menangis bersamamu,
Long Distance Bukan Lagi Masalah
Jumat, 15 Desember 2007
- Menjalin cinta jarak jauh atau long distance love biasanya memang menimbulkan banyak dilema bagi mereka yang menjalaninya. Padahal dengan berbagai kecanggihan teknologi yang ditawarkan, seharusnya jarak bukan lagi menjadi persoalan utama. Lantas bagaimana cara menjalin cinta jarak jauh yang langgeng dan aman? Begini triknya..
Banyak yang tak kuat berlama-lama menjalin cinta jarak jauh. Berbagai alasan tentu saja menjadi hal yang sangat menguatkan pernyataan tersebut. Tapi sebenarnya, asyik-asyik saja dilakukan dan ada kenikmatan tersendiri. Meski tentu hal ini tak semudah dibayangkan, dan perlu banyak pengorbanan.
Nah, biar cinta di antara Anda dengan dia yang tinggal nun jauh di sana tetap segar, perlu beberapa trik yang harus dijalani. Berikut di antaranya:
1. Jadikan jarak bukan suatu masalah.
Pernyataan ini adalah hal pertama yang harus bisa dimantapkan dalam diri Anda dan pasangan. Tentu saja karena kemajuan teknologi sudah semakin canggih. Apa pun bisa dijadikan alat untuk mempertemukan Anda berdua. Misalnya saja dengan memanfaatkan media telepon atau internet. Intinya jangan lewatkan setiap saat untuk bisa berkomunikasi. Anda berdua juga jangan berkecil hati, pasalnya banyak kok, pasangan yang dekat dan sering ketemu namun bawaannya hanya berantem terus dan akhirnya putus! Jadi buat Anda yang kebetulan punya belahan hati, entah itu beda kota atau bahkan beda negera sekalipun, jangan khawatir. Justru dengan long distance ada kesempatan saling menguji diri dan memupuk rasa cinta.
2. Kepercayaan di atas segalanya.
Kunci kesuksesan suatu hubungan adalah kepercayaan di atas segalanya. Dengan demikian Anda tidak akan berpikir macam-macam ataupun mencemburui apa yang sebenarnya tak pernah dilakukan pasangan Anda. Menduga-duga dan terus berpikiran negatif tentu akan makan hati. Makanya lebih baik memantapkan hati untuk terus percaya dan setia padanya. Akan tetapi hal ini tentu saja bila Anda kenal betul karakternya. Lain hal bila ternyata dia adalah tipe yang mudah berpindah ke lain hati. Yang pasti saling percaya bukan berarti langsung tutup mata.
3. Usahakan selalu berkomunikasi.
Setia dan percaya bukan berarti membuat Anda berdua jarang keep in touch. Apalagi belakangan perkembangan teknologi semakin memudahkan segalanya. Anda bisa melihat tampang keren atau cantiknya pasangan Anda lewat webcam. Kualitas hubungan memang penting, tapi kuantitas juga perlu diperhatikan. Usahakan minimal punya waktu-waktu tertentu, untuk menghubungi atau dihubungi si dia.
4. Isi waktu kesendirian dengan hal bermanfaat.
Diakui godaan yang terbesar bila punya kekasih yang jauh adalah bete saat sendirian. Apalagi bila malam minggu tiba, di mana semua teman-teman sibuk berkencan ria dengan pasangan masing-masing. Kesepian dan juga iri tentu saja berkecamuk dalam diri. Kalau sudah begini, jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan. Lebih baik Anda menenggelamkan diri pada segala kesibukan yang positif arahnya. Misalnya saja dengan ikutan klub ataupun kelompok-kelompok gaul. Kalaupun Anda harus menghadiri resepsi, tak ada salahnya mengajak adik atau teman dekat untuk menemani. Ingat lirik lagu yang dibawakan Ricky Martin dan Christina Aguilera, Nobody Wants To Be Lonely.
5. Selalu kirim foto terbaru.
Sebagai obat kangen, selain mengandalkan komunikasi juga nggak boleh lupa saling bertukar foto terbaru. Dengan begitu, selain tahu perkembangan dan perubahan rutinitas pasangan, Anda juga bisa tahu perubahan fisik yang dialami pasangan Anda. Jangan kaget kalau mendadak si dia berubah menjadi gemuk. Tentu saja cara pengiriman foto juga akan lebih mudah lewat e-mail.
6. Saling berkunjung.
Selain bertukar foto terbaru, yang tak boleh dilupakan adalah meluangkan waktu untuk bisa mengunjungi sang kekasih. Jangan terus-terusan berharap dia yang akan menjenguk Anda. Nggak masalah juga kok walau kamu cewek. Cari saat yang tepat, misalnya waktu libur panjang. Pasti, doi akan merasa surprised banget menyambut kedatanganmu.
7. Berantem Tak berarti putus! <==== huaaa it's mee
Pacaran jarak jauh bukan jaminan nggak akan pernah mengalami saat-saat berantem. Mungkin saja si dia mendengar gosip macem-macem tentang Anda yang tidak benar. Salah-salah tentu saja setiap kali pembicaraan akan dipadati dengan luapan kemarahan. Kalau sudah seperti ini, jangan dulu emosi, apalagi langsung mencanangkan kata putus! Anda berdua juga harus menyadari, mungkin dia dapat info dari orang yang salah. Atau juga mungkin karena saking kangennya sama Anda, akhirnya dia jadi punya pikiran yang ngga-ngga.
8. Beri pengertian padanya, kalian sudah lama terpisah dan jarang bertemu.
Jadi, kenapa nggak sesekali bertemu atau mengobrol tentang segala hal yang ingin sekali diketahui pasangan Anda. Sadari juga kemungkinan kalian sama-sama jenuh karena saling berjauhan dan nggak bisa curhat. Perlu diwaspadai juga, ada banyak "musuh" yang mungkin ingin melihat hubungan Anda berakhir. Yang pasti Anda harus waspada, namun tanpa melepas rasa percaya dan kesetiaan Anda.
KEGEMARAN YANG LANGKA
Bu April berjualan makanan didepan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin Ibu April. Setiap hari, Ibu April membeli banyak Kepala Ayam. Krena ada satu makanan berkuah yang lezat bila dimasak dengan Kepala Ayam. Nah, kepala ayam ini amat disukai Razza. Rasanya gurih, legit, dan …pokonya nikmat. Waktu masih kecil Raza sering makan 5 buah kepala ayam. Sekarang, setelah kelas 2 SMA, Razza bias menghabiskan 1 lusin kepala ayam.
Tetapi kegemaran Raza ini nyaris terhenti. Suatu siang, Ambar dan Dian dating saat Razza sedang makan siang. Dihadapannya ada 2 mangkuk kepala ayam, lengkap dengan lehernya.
“Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan sama- sama !” ajak Razza. Ia segera bangkit, hendak mengambilkan piring untuk kedua kawannya.
“Terima kasih, kami sudah makan !” jawab Dian. Dian mengangguk, sementara matanya tak lepas dari kepala ayam yang berada di mangkuk Razza.
“ Kalau begitu, kalian minum sajalah!” kata Razza, lalu membuatkan 4 gelas es sirup. Ketiga anak itu duduk menghadapi meja makan.
“Aku makan dulu, ya!” kata Razza, lalu mulai menggigit sepotong leher ayam dan makan dengan lahap. Duh, nikmat sekali tampaknya.
Dian dan Ambar saling berpandangan, lalu tertawa. “Kenapa?” Tanya Razza heran. Tangannya tetap memegang sepotong kepala ayam. Esoknya harinya, Razza membawa notes kecil dan menuliskan nama – nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu per satu. Ternyata tak seorang pun kawannya suka memakan kepala ayam, karena takut.
“Ha, ha, ha, kamu suka makan kepala ayam? Kamu juga suka buntut dan kaki ayam?” goda Dani.
“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Nine.Razza menceritakan masalahnya kepada Ibu. Ibu berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan – pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!”
“Pertama, kalau kamu suka kepala ayam apakah dirimu menjadi rugi?” Tanya ibu. “Tidak” jawab Razza.
“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?”Tanya ibu.
“Ketiga, apakah kalau misalnya si sanusi suka makan daun, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir. “Tidak!” jawab Razza.
“kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!”kata Ibu.
Razza tersenyum. Hilanglah keraguannya. Ia mengucapkan terima kasih pada ibu, lalu mengambil 5 mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang di kerjakan Razza selanjutnya bukan?]
SELESAI
Fajar senjaya XI IS 1
Cincin Bernama
Cerpen Rini T.S.
Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan. Bahkan tampilan fisiknya boleh disebut kusut. Gondrong sebahunya pasti hanya sesekali disisir dengan jemari tangannya. Dan ketika hidungku hanya berjarak beberapa senti dari tubuhnya, tak ada yang bisa tertangkap selain aroma keringatnya yang berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat. Ia laki-laki yang selalu berasap.
Ia juga susah dimasukkan ke dalam kelompok laki-laki supel yang gampang akrab. Bahkan aku baru bisa bercakap-cakap dengannya dalam arti yang sesungguhnya setelah nyaris putus asa. Hari pertama, aku hanya mendapatkan senyuman hambarnya. Aku belum mendapatkan sedikit pun alasan untuk tertarik padanya. Hari kedua, kami baru berjabat tangan, dan kusebut namaku, dan ia sebut namanya.
"Ouw, aku sudah kenal nama itu. Kau cukup banyak menulis artikel seputar persoalan perempuan, kan?"
Aku sedikit terkejut, padahal sudah menduga sebelumnya jika ia akan berkomentar seperti itu setelah kusebut namaku.
"Aku juga cukup banyak membaca tulisan-tulisanmu," kataku, yang kemudian dia sambut dengan ucapan terima kasih. Padahal, di dalam hati aku berkata, "Sayang, kau tak sehangat tulisan-tulisanmu. Kupikir kau orangnya hangat, menarik, tak akan pernah kehabisan bahan cerita. Eh, ternyata nyaris gagap di "darat"! Laki-laki yang tidak menarik!"
Tetapi kekecewaanku lebih dari sekadar terobati ketika menyaksikan penampilannya di depan forum. Di antara moderator dan tiga orang pemakalah yang dipanelkan di dalam sesi itu, ia benar-benar jadi bintang. Tiba-tiba aku melihat dia dengan wajah baru, dengan kesegaran baru, dengan semangat baru. Dia tidak lagi gagap, bahkan terkesan garang, walau tidak segarang tulisan-tulisannya yang selama ini aku kenali (catatan: kemudian aku tahu bahwa sekian banyak tulisannya tidak aku kenali sebagai tulisannya karena dia menulis dengan beberapa nama samaran). Tiba-tiba aku melihat auranya menjadi sedemikian cemerlang. Ia menjadi sangat menarik, bahkan sangat merangsang! Aku pun kasmaran. Benar sekali kata Diat, temanku, bahwa bagian tubuh paling seksi itu adalah otak!
Maka, begitu ia turun dari tempatnya, aku ikutan menghambur untuk menyalaminya, mengucapkan selamat atas kesuksesannya sebagai pembicara, dan yang paling penting adalah memuaskan diri, menghisap aroma keringatnya yang tak jadi soal lagi walau berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat itu. Ini hari keempat. Dan pada hari keenam, aku harus sudah meninggalkan kota dengan segudang sebutan ini: Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota "Seks in the Kost".*)
Hari kelima, waktu istirahat dan makan siang, aku sudah menjadi akrab dengannya. Dari sorot matanya aku tahu betul bahwa diam-diam ia pun mengagumiku. "Pertanyaanmu tadi sangat cerdas," pujinya. Aku tidak terkejut, tetapi sedikit kecewa. Aku ingin ia bilang aku cantik. Ah!
Lalu kami berdiskusi sambil makan, minum, dan sebentar kemudian ia menjadi laki-laki berasap. Rokoknya sambung-menyambung. Tetapi anehnya, aku makin kerasan berada di dekatnya. Waktu pun seperti makin bersicepat. Hanya tinggal satu hari satu malam kesempatan tinggal di tempat yang sangat menyenangkan ini.
"Setelah ini inginmu masuk ke ruang apa?" tanyaku tiba-tiba, dan aku pun kaget sendiri, membayangkan dia tahu persis apa motivasi pertanyaan itu.
"Sebenarnya aku sudah sangat jenuh. Mereka hanya mengulang-ulang kalimat-kalimat lama. Persoalan-persoalan lama. Lagu lama. Aku sih pengin jalan-jalan saja. Esok sudah hari terakhir. Tapi…."
"Boleh aku ikut?"
"Oh, ya? Sebenarnya aku mau ajak Titok, tetapi dia pulang tadi pagi, ditelepon istrinya. Katanya ada sesuatu yang penting yang mesti cepat ia selesaikan."
"O, Titok yang dari Solo itu, ya?"
"Ya. Kenal dia?"
"Kenal, terutama dari tulisan-tulisannya."
"Ya, aku juga suka membaca tulisan-tulisannya. Aku juga baru mengenalnya secara langsung di sini, terutama karena harus sekamar dengannya."
Sebentar kemudian kami sudah berada di sebuah taksi. Keliling kota. Turun di warung ikan bakar, makan sama-sama, lalu jalan kaki sama-sama. Lelah, naik taksi lagi, turun, jalan-jalan lagi, begitu entah sampai berapa kali ganti taksi. Lalu, tiba-tiba kami sudah berada di pusat kota. Orang bilang, belumlah sempurna mengenal kota ini tanpa pernah menyusuri jalan yang satu ini.
"Jika aku ingin memberimu tanda mata, apa yang kauinginkan?" demikian pertanyaannya, sangat mengejutkanku! Dan yang lebih mengejutkanku lagi adalah jawaban spontanku, "Cincin!"
"Oh, ya?"
"Tapi bukan cincin emas. Aku menginginkan sebentuk cincin perak. Kau mau membelikannya untukku? Lalu, sebagai kenang-kenangan dariku, apa yang sebaiknya kubeli untukmu?"
"Cincin."
"Ha?"
"Aku sudah punya cincin emas, aku juga ingin punya cincin perak, yang di lingkar dalamnya terukir namamu."
"Hah…?"
"Apakah permintaanku berlebihan?"
Aku tidak memberikan jawaban berupa kata-kata untuk pertanyaan itu. Tetapi kemudian aku penuhi permintaannya dan dipenuhi pula permintaanku. Kami, masing-masing mendapatkan sebentuk cincin "bernama". Ada namaku pada cincin yang kubeli untuknya, dan ada namanya pada cincin yang dia beli untukku. Aku merasa sangat senang, jika terlalu berlebihan untuk disebut bahagia. Rasanya seperti ketika waktu kanak-kanak dulu mendapatkan baju baru, atau hadiah menarik dari ayah atau ibu. Hatiku berbunga-bunga. Bunga warna-warni: merah, kuning, putih, biru. Aku hampir saja melompat ke dadanya yang kerempeng itu. Coba, jika benar itu kulakukan dan kemudian ia terjengkang dan terkapar dalam keadaan aku bertahta di atas dadanya, betapa konyolnya. Hahaa, sebenarnya aku ingin mengatakan, "Betapa dramatiknya!"
Kemudian tibalah saat yang menyedihkan itu. Acara berakhir, dan aku harus berpisah dengannya.
"Kau selalu di hatiku," gombalnya.
"Ah, terlalu dalam. Aku ingin berada di atas dadamu saja," lucuku.
Tetapi dia tidak tertawa. Aku juga. Kami benar-benar bersedih.
"Jangan bosan-bosan membalasnya, aku akan rajin mengirimimu SMS," pintanya.
"Tentu. Bisa jadi aku akan lebih rajin mengirimimu."
"Ya, kirimkan rindumu padaku."
"Tentu!"
Di bandara kulihat matanya berkaca-kaca. Sayang, kami harus menaiki pesawat yang berbeda. Ada keharuan yang mendesak-desak ketika kami saling melambaikan tangan. Sama-sama melambaikan tangan kiri, sekalian untuk saling meyakinkan bahwa kami memakai cincin bernama itu di jari manis kami. Aku yakin dia tidak sedang berbasa-basi. Seperti aku, tidak sedang berbasa-basi. Kini, aku sedang melayang-layang menyibak gugusan awan, lalu menukik tajam, bagai tersedot mulut jurang tanpa dasar itu: cinta!
Berlama-lama aku memandangi sebentuk cincin yang melingkar di jari manisku ini. Lalu kulepas, kupandangi deretan huruf di lingkar dalamnya, sebelum kemudian kupakai lagi, kulepas lagi, kupakai lagi… Pikiran dan perasaanku menjadi sangat sibuk. Seolah aku sudah tidak kuasa mengendalikan diri. Tiba-tiba aku sudah menyalakan komputer.
"Thing, thung, thing…."
Ouw! Itu suara ponselku jika menerima SMS.
"Aku mulai gelisah, cemas, dan merasa kesepian. Aku merindukanmu!"
"Oh, aku juga."
"Aku yakin, aku sangat mencintaimu."
"Rasanya, aku juga."
"Oh, ya? Kita menikah saja, ya?"
"Hm, secepat ini kaubuat keputusan? Aku takut kau sedang mabuk."
"Mabuk? Aku tak suka minum."
"Mabuk asmara, maksudku."
"Ah, percayalah padaku."
"Aku percaya. Tetapi kapan kita akan menikah?"
"Sekarang juga!"
"Ha…? Sekarang…?"
"Ya. Kunikahi kau dengan segenap cintaku. Tak sabar lagi aku untuk memanggilmu sebagai istriku."
"Ya, kuterima cintamu. Aku bersedia menjadi istrimu, suamiku!"
"Oh, istriku….!"
"Ya, suamiku…!"
"Chpmshshmmmm…..!"
"Mmmmuach…!"
Lagi, di depan komputer, berlama-lama kupandangi sebentuk cincin yang melingkar di jari manis ini. Lalu, kulempar ke dalam keranjang sampah sekantung cincin bernama yang kubangga-banggakan selama ini. Dan sambil sesekali membalas SMS "suamiku", aku pun mulai menulis, "Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan…
nama:rizki andriansyah
kelas:11 IA 3
Lelaki yang Menangkap Rembulan
IA DUDUK di atas batu besar. Hanya dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, dan sehelai sarung yang diselempangkan ke bahu. Dingin angin malam, gesekan daun dengan ranting kering sama sekali tak dihiraukan. Wajahnya legam menengadah ke langit memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan. Tangan kanannya memegang erat sebuah jaring.
“Aku pasti bisa menangkapmu.”
Laki-laki itu meloncat dari batu besar tempat duduknya. Cahaya bulan melukis bayangan sesosok lelaki di atas tanah. Bayangannya lebih pendek dari tubuh aslinya. Ia hanya setinggi satu setengah meter. Kepala bulatnya tersangga leher tembem di atas tubuhnya yang lemu. Ia selalu membuat gerakan mematahkan leher ke arah kanan. Orang-orang desa menyebutnya pendono - kebiasaan buruk.
Sepasang kaki telanjang berlari di atas tanah. Tangan kanannya menggapai-gapai ke langit dengan jaring yang dipegang erat. Semakin kencang ia berlari, semakin cepat bulan menghidar dari jaringnya. Ketika ia menghentikan langkah sepasang kaki telanjangnya, bulan sebentuk perahu itu ikut berhenti dan memandang ke arahnya.
“Bulan,” seru lelaki pendek sambil terengah-engah “suatu hari aku pasti bisa menangkapmu.”
***
LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.
Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus mengasak padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.
Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak tegal. Tegal yang sekarang ditanami morbei oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak tegal dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia manut saja, lha wong banyak tetangganya yang ikut juga.
“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.
“Kalau makan jangan banyak omong”
“Tapi Poyo ingin telur rebus.”
“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”
“Poyo mau tangkap bulan!”
“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”
“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”
“Poyo, kembali!”
Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur disampingnya.
***
SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.
“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”
Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang ngaji.
Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan ublik yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.
***
SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa tegal itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di tegal miliknya.
Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.
Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di tegal, walaupun perhutani melarangnya. Tegal ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.
Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama tegal itu akan menjadi milik mereka.
Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.
Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.
Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat tegal belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas tegal.
Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.
Seorang tetangga di tegal lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
“Kita harus mbantu Tim Sukses demo di pengadilan.”
“Sekarang?”
Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.
***
POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di tegal menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. Tegal ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap tegal ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak garap bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap tegal ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini dibabat. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap tegal sesuai dengan jatah masing-masing.”
***
BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.
“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di tegal. Tadi pak RT ngasih kartu garap kepada emak.”
Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.
“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”
Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.
oLeH
Yogi buDi pRaTamA
11.IA.3
Cinta laki-laki biasa
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa
dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang
terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-
hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania
terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
by: razza taufik 11.is.1
LAKI-LAKI BIASA
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa
dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang
terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-
hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania
terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
BY: RAZZA
IS.1
IQ Rendah Ga Masalah
Sudah 2 minggu Sanusi murung. Hal itu tidak luput dari perhatian Koddex. Sanusi yang biasanya ceria kini menjadi pendiam. Sekali-sekali Koddex memergokinya sedang mengamati selembar kertas hasil test IQ yang baru dibagikan sekolah.
Hasil test IQ Sanusi memang tidak bagus. Hanya 90. Lain dengan Asa dan Bomet. IQ meraka 130 dan 140. Memang Koddex sudah menghiburnya. “Walupun IQ rendah, kan yang penting kamu sudah berusaha sebaik-baiknya dan angka raport kamu tak ada yang merah!”
Sanusi mengakui, memang angka raportnya tidak ada yang merah. Tapi kan Enam melulu. Tidak seperti kedua teman lainnya, yang dengan angka 7 dan 8 banyak menghiasi raport mereka. Bahkan Sanusi sudah berpikir sangat jauh kedepan. Mungkin ia tidak akan bisa menjadi Sarjana, sementara kedua temannya, yang akan menjadi sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.
Mungkin ia tidak mampu mencari uang bila sudah dewasa. Ataupun hanya mampu menjadi Anak Band. Bahkan mungkin saja nanti Sanusi akan menjadi beban kedua temannya. Perasaan itu menghantui Sanusi, merampas keceriannya. Pada hari ketiga Sanusi masih lesu. Ketika pulang sekolah, Koddex memberitahu, “San, saya membelikan makanan kesukaanmu. Siomay dan Pecel super pedas!”
“Terima kasih, Dex!” hanya itu sambutan Sanusi. Biasanya Sanusi akan berseru, “ Hore, asyiiiik, bisa jajan lagi deh!”
Setelah pulang sekolah Sanusi dan Koddex naik motor kerumah Om Razza. Rumah Om Razza bagus. Ruang tamunya besar. Di dinding tergantung ijazah-ijazah kursus Bahasa Inggris dan Komputer. Juga ada photo bersama Ahli Komputer Amerika.
“Sanusi masih suka nge Band?” Tanya Om Razza.
“Ya,. Om!” jawab Sanusi. “Habis Sanusi Bodoh, tidak seperti Asa dan Bomet, IQ Sanusi Jongkok, cuma 90. Kalau pintar seperti Asa dan Bomet, mungkin sudah tidak senang nge Band!”
Om Razza maklum. Sebelumnya Koddex sudah menelponnya. “Ah, KOddex Pandai, tapi kan senang nge Band. Kalau Om Razza, IQ-nya juga rendah, Cuma 100. tapi Om tidak kecewa. Allah memberikan kelebihan yang berbeda-beda pada setiap orang,”kata Om Razza.
Minat Sanusi bangkit. Ia kira Om Razza adalah orang hebat. Ternyata IQ nya sama dengan dia. Jadi kesimpulanya IQ rendah bukan masalah. Yang penting kita berusaha sebaik mungkin jadi orang baik. Dan IQ jg bisa berubah lho, kalau kita banyak menambah pengetahuan dan mau belajar.
Kelompok 4
- Fajar Senjaya
- Aditya Wahyu
- Rizky Widiasa
- M. Sanusi
- Razza Taufiq
KELAS: 11 IS 1
Perempuan berwajah kerut kendur dimakan umur, duduk menyilang tangan, bertumpu di atas paha berbalut kain batik panjang tergerai sampai lantai yang tercabik, menatap langit kosong melalui pintu rumah langsung menghadap jalan gang kampung.
‘Aku perempuan, mendesah panjang dalam duduk setengah membungkuk tanpa memiliki tegaknya rangka tubuh, ingin menenggak angin melawan fisik yang makin digerogoti waktu.’
Satu daun melayang dari ranting pohon jambu biji yang termangu di depan rumah tempat ia duduk termangu.
‘Aku perempuan tua, menakar perjalanan dengan anak-anak dan suamiku yang telah jauh seperti daun jatuh terputus tangkai dari tempat bertunas dan membesar. Terbata aku menakar persamaan kisah anak, suami dan daun jatuh. Angin, apakah ini karena peranmu?’
“Huk! huk!!” tersendat dentuman meriam dari rongga peluru saluran kerongkongan perempuan itu.
Seorang pejalan kaki lewat, menapaki jalan bersemen depan rumah tua, mengenakan sandal, melindungi telapak kaki dari sengat panas sinar matahari yang bersenggama dengan sel, molekul semen, pasir dan bata jalan.
‘Aku perempuan kabur mata, terbata melihat pejalan kaki seperti melihat diri sendiri, merasa masa yang sangat lama telah berlalu kini muncul lagi.’
‘Waktu itu aku adalah perempuan muda, suka berjalan kaki menyusuri jalan demi jalan dari kampung ke kampung, desa ke desa. Di punggungku terikat keranjang berisi sayur-mayur dengan kebaya dan kain panjang menutup tubuh.’
‘Aku jajakan bahan pelengkap makanan untuk penduduk. Sayur-sayuran yang kupetik dari kebun belakang rumah telah mempertemukanku dengan seorang pemuda gagah.’
‘Ia suka memandangku lewat di depan rumahnya sampai ia menawari aku mampir. Ia panggil kakak perempuannya membeli sayur jualanku, sedang ia berdiri jongkok di sisiku yang berlutut mengatur sayur hijau dari keranjang.’
‘Ia, pemuda itu, tersenyum. Kubalas dengan senyuman, lalu mataku menunduk.’
“Kok menunduk, cah ayu?”
‘Aku tersipu. Terasa merah rona wajahku. Kukerling ia.’
‘Setelah waktu itu, hari demi hari.. ia menjadi calon ayah lalu ayah dari anak-anak kami hingga anak paling bungsu. Begitu lama waktu berlalu, hingga semua anak kami berkeluarga dan memberi keturunan, cucu-cucu kami.’
‘Sampai ketika aku renta dan duduk menatap hari, kini suamiku pasti sudah kerasan tinggal di sana. Ia pasti sudah bertemu anak kedua kami yang menyusulnya. Sedang aku tetap di rumah ini, rumah peninggalannya, ayah mereka. Sepi, sendiri, hari demi hari kulalui sendiri. Menanak nasi, mengambil air, merebus, memakainya untuk mandi dan air minum, mengatur sendiri, semua kulakukan sendiri dalam umur setua ini.’
‘Dalam tubuh selemah ini hanya janda mendiang anakku yang nomor dua dan cucu-cucuku dari mereka yang sering menemaniku dengan penuh keterbatasan lantaran hidup mereka yang berkekurangan.’
‘Anak-anakku yang lain, istri mereka beserta cucu-cucuku dari mereka kadang juga ke sini dan memberiku perhatian, dan aku menjadi senang. Tapi, begitu mereka pulang, aku kembali merasa kesepian. Ketika siang kosong, udara memang semilir agak menyejukkan. Namun aku tetap sepi sendiri.’
‘Anganku sering melayang ke masa-masa silam, ketika aku kecil bersama orang tuaku yang hidup sederhana, bercocok tanam, aku remaja menjajakan sayur, menikah dan membesarkan anak kita, lima laki-laki dan satu perempuan.’
‘Dari semua anak kita, Mas, aneh, yang paling mengingatkanku padamu, adalah si bungsu, anak perempuan kita.’
‘Anakku.. pasti kau sangat mengenal aku, ibumu. Betapa tidak, kau kulahirkan dengan darah mengalir, menggenang, makan fisik, rasa, menguras pikiran berlumur air merah, bening dan keruh, pembuluh pecah, dilengketi benda asing diramu waktu menguliti buluh kering, retas, pecah dan luruh. Semenjak kulahirkan, kau tak pernah jauh dariku. Bahkan dengan tubuhmu yang telah mendewasa kamu masih saja tidur seranjang denganku.’
‘Suamiku.. kadang aku merasa rindu, tak tahu, dan khawatir tentang kehidupannya, seperti saat ini. Mungkin ia terlalu sibuk, hingga jarang menghubungiku, bahkan hanya sedikit waktu dalam setahun menengok ibunya yang sendiri di rumah ini.’
‘Aku merasa kosong karenanya.’
‘Namun tiba-tiba aku merasa terisi. Begitu mengingatnya, aku langsung teringat dirimu dan merasa bahwa kita sungguh dekat. Aku merasa sangat dekat denganmu oleh karena mengingat ia, satu-satunya anak perempuan kita. Tahukah kau, suamiku, mengapa? Mengapa demikian?’
‘Aku yakin, kamu yang sudah bahagia bersama malaikat-malaikat iman di negeri baru itu, tersenyum mendengar pertanyaan ini. Aku yakin jawabanmu sama dengan yang ada dalam keyakinanku.’
‘Ya, betul, suamiku. Sebab dialah satu-satunya anak kita yang berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kau pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami. Si bungsu satu-satunya anak perempuan kita, bahkan menjadi pemimpin bagi umat. Tidak seperti anak-anak lelaki kita, anak perempuan kita memang lain. Ia cermin dari imanmu.’
‘Ya suamiku... aku sungguh rindu padanya. Seperti aku rindu padamu.’
Hari makin terang dan panas. Matahari sedang garang di langit. Orang yang sekali-sekali lewat di depan rumah belum juga ada yang lewat lagi. Yang datang dalam terang, wajah yang sangat ia kenal. Suaminya.
‘Mas... biarkan aku memelukmu. Dan kau memelukku. Sambil: menunggu anak perempuan kita datang.’
Sejurus menunggu.. Ia belum juga menjumpai anak perempuannya itu.
“Mas, anak perempuan kita, si bungsu, mana?”
“Tidak usah kau cari. Bukankah kamu sudah bilang ia cerminan dariku??”
Perempuan itu termangu.
Suaminya melanjutkan ucapan.
“Kalau aku yang dicerminkan olehnya sudah ada bagimu, bukankah kehadiran cermin itu sudah tidak perlu lagi?”
Perempuan tua itu menitikkan air mata. Ia merasa sangat bahagia. Ia rasakan tubuhnya kembali perawan. Di depannya adalah suaminya, yang juga kembali perjaka.
Dan perempuan itu tak ingat lagi tentang anak perempuan bungsunya
R.Agnhiyaa AV.KP
Posting Komentar