Apabila menelusuri asal muasal bahasa Indonesia, bahasa ini berasal dari Riau (Sumatera) dan disebut bahasa Melayu yang sejak berabad-abad menjadi lingua franca dari kawasan yang sejak 1940-an mulai dinamai Asia Tenggara. Pada akhirnya bahasa Melayu diadopsi menjadi bahasa Indonesia, adalah untuk tujuan politis mempersatukan Hindia Belanda. Namun sebenarnya, ‘Indonesia’ pada awalnya adalah peristilahan antropologis, bersama Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Dalam hal ini, Indonesia dipakai untuk menunjukkan budaya berciri melayu.
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Indonesia berasal dari rumpun Melayu, salah satu bagian Austronesia, walaupun kosakatanya di masa kini mencakup kata-kata dari berbagai bahasa. Akar bahasa Melayu dan Austronesia dapat dilihat dalam kemiripan sebutan untuk angka dalam bahasa Indonesia dan misalnya Indonesia: dua = Tagalog dalawa, tiga = telu (Jawa dan Bali) tilu (Sunda) tello' (Madura), tatlo (Filipina). Dan telingga sama dengan tainga (Pilipina), sedangkan hidung dalam Bahasa Filipina berarti ilong. Walaupun begitu, perubahan bahasa telah menguras banyak unsur gramatikal, seperti sistem morfologi: dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Filipina (Tagalog) nasih ada infiks sedangkan dalam Bahasa Indonesia sudah disederhanakan. Beberapa unsur khusus dalam kosakata, banyak dipinjam dari bahasa-bahasa Sansekerta, Belanda, Arab dan Spanyol. Misalnya, saya berasal dari Sansekerta sedangkan awak masih memiliki akar Austronesia.
Namun saat ini, di Papua bahasa Indonesia telah menjadi lingua franca, dimana orang-orang lebih banyak banyak bertutur dalam bahasa ini. Bukan mustahil, pada suatu ketika ia menyebabkan kepunahan bahasa-bahasa asli. Seperti terjadi pada bahasa-bahasa Indian di Amerika Serikat karena dominasi bahasa Inggris, atau seperti Aborigin di Australia, yang sejak bangsa Inggris masuk tahun 1788 mempunyai 250 bahasa namun saat ini tinggal 100 bahasa. Itu pun tinggal menunggu waktu untuk punah (Geoffrey Hull: 2001)
Dari pengalaman Indian dan Aborigin, bangsa Melanesia harus lebih serius dalam melestarikan dan melindungi bahasa-bahasa asli mereka. Salah satunya dengan mendorong lembaga pendidikan agar melestarikan bahasa asli, terutama dengan mengajarkannya pada pendidikan dasar sesuai dengan Resolusi Unesco 1953. Terlebih lagi penemuan-penemuan penelitian pendidikan memperlihatkan bahwa siswa akan lebih siap belajar bahasa-bahasa lain, apabila mereka pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu mereka (Helen Mary Hill: 2000).
Pada prinsipnya, bahasa manapun layak dikaji dan dihormati, namun si “empunya bahasa” alias orang yang menuturkan, harus pertama melestarikan bahasanya. Bila tidak, kebanggaan berbahasa asli akan hilang. Bahasa asli pun dipandang tak lebih dari relikui masa lalu yang tak berguna dan mewakili simbol keterbelakangan. Bangsa yang demikian akan dihinggapi krisis identitas yang sukar disembuhkan.
Selasa, 26 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
jadi kata bahasa indonesia riau..
isi posting ibu bagus..dapet dari mama bu...
nie puisi tuk ibu..
terima kasih oh..guru ku..
kau mengajari ku..
begitu banyak ilmu,yang tak bisa aku lupakan..
kau pelita hidup ku..
yang selalu menerangi hari-hariku..
dengan semangat..juang mu..
kau pahlawan tanpa tanda jasa..
diri mu begitu mulia..
ma'afkan diri ku andai aku telah menyakiti dirimu..
ma'af aku...bu'guru..
Posting Komentar